Ceramah berseri: Anattalakkhaṇa Sutta

Administrator icons | Noun Project 2019-03-24 14-10-43.png
Dhammavihari
16 Nov 2018

Setelah selesai pembahasan materi Abhidhammatthasangaha Bab 6 yaitu Rūpapariccheda, Ashin kemudian mengajarkan Anattalakkhaṇa Sutta terutama ditujukan kepada murid-murid kelas Abhidhamma. Ceramah berseri ini diadakan dalam empat kali pertemuan. Kelas pertama dimulai pada hari Sabtu, 6 Oktober 2018 dan kelas keempat pada tanggal 17 November 2018.

Setiap kelas selalu diawali dengan memberikan penghormatan kepada Guru Agung kita yaitu Buddha Gotama dengan melafalkan Pubbabhāganamakāra.  Di kelas pertama, Ashin Kheminda melafalkan Anattalakkhaṇa Sutta dalam Bahasa Pāḷi dengan tujuan untuk meningkatkan saddhā para murid terhadap Tiratana.

Anattalakkhaṇa Sutta adalah sutta kedua yang dibabarkan oleh Buddha kepada lima pertapa (pañcavaggiyā bhikkhu) agar mereka dapat menembus Empat Kebenaran Mulia lebih dalam lagi hingga mencapai buah Arahatta. Pada saat mendengarkan pembabaran sutta tersebut Y.A. Aññā Kondañña, Y.A. Bhaddiya, Y.A. Vappa, Y.A. Mahānāma dan Y.A. Assaji baru mencapai tingkat kesucian Sotāpanna.

Banyak manusia yang berpandangan bahwa ada satu wujud yang disebut “roh” yang berdiam di dalam tubuh jasmani. “Roh” inilah yang sering di mispersepsi sebagai “ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah rohku”. Ketiga pernyataan ini sebenarnya merupakan wujud dari kehausan (taṇhā), kesombongan (māna) dan pandangan salah (diṭṭhi) yang juga disebut sebagai papañca dhamma, yaitu dhamma yang memperpanjang rangkaian lima agregat (pañcakkhandha) melalui kelahiran dan kematian yang berulang. Ashin Kheminda berpesan bahwa setelah mengetahui bahaya dari papañca dhamma, hendaknya kita senantiasa menjaga batin kita karena jika kita tidak berpengetahuan dan sering memunculkannya di arus batin kita, saṃsāra bisa saja tanpa akhir. Papañca dhamma tidak lain adalah trio keserakahan (lobha) dari faktor-faktor-mental yang tidak baik (akusala cetasikā).

Di awal Sutta, Buddha menyampaikan bahwa pañcakkhandha yaitu agregat materi (rūpakkhandha); -perasaan (vedanākkhandha); -persepsi (saññakkhandha); -formasi-formasi batin (saṅkhārakkhandha) dan agregat kesadaran (viññānakkhandha) adalah bukan roh. Kemudian, Buddha menuntun pañcavaggiyā bhikkhu melalui penjelasan yang logis dan terstruktur untuk menunjukkan bahwa pañcakkhandha ini bukanlah roh. Buddha menjelaskan apabila pañcakkhandha adalah roh, maka lima agregat ini tidak akan menuntun ke penderitaan, kita bahkan dapat memerintah lima agregat ini sesuai dengan kehendak kita untuk menjadi demikian dan jangan menjadi seperti itu. Akan tetapi hal ini adalah mustahil, kita tidak bisa mengendalikan perasaan bahagia untuk terus muncul dan perasaan duka jangan pernah muncul. Oleh sebab itu kita harus senantiasa merenungkan bahwa tidak ada roh atau diri, saat penderitaan muncul hanya “ada penderitaan tetapi tidak ada siapa pun yang menderita”, dengan demikian hidup akan menjadi ringan.

Buddha menuntun para pertapa untuk memahami anattā dari pintu masuk ketidakkekalan (anicca) dan penderitaan (dukkha) karena kedua fenomena ini lebih jelas terlihat dibandingkan anattā. Dalam kehidupan sehari-hari saat benda yang kita miliki rusak atau orang di sekitar kita meninggal dunia, kita bisa mengatakan “Ah, anicca”.  Demikian juga saat tubuh tertusuk duri kita mengatakan “Ah, dukkha” namun tidak lazim orang mengatakan “Ah, anattā” dalam situasi seperti itu. Karakteristik anattā tidak terang dan sulit bagi orang awam untuk mengetahuinya. Hanya para Buddha yang dapat menembus anattā dengan usahanya sendiri sehingga anattā merupakan ciri khusus ajaran Buddha yang tidak diajarkan oleh guru spiritual lainnya.

Setelah lima pertapa memahami bahwa semua yang tidak kekal, berupa penderitaan dan bercirikan perubahan adalah tidak pantas dilihat sebagai “ini adalah milikku, ini aku dan ini rohku”, selanjutnya, Buddha menekankan bahwa semua agregat baik dari masa lalu (atīta), masa depan (anāgata), masa kini (paccuppana), internal (ajjhatta), eksternal (bahiddhā), kasar (oḷarīka), lembut (sukhuma), inferior (hīna), superior (paṇīta), jauh (dūra) atau dekat (santika) hendaknya dilihat sesuai realitas dengan kebijaksanaan yang benar sebagai berikut, “Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan rohku”.

Menyambung tentang “melihat sesuai realitas dan kebijaksanaan yang benar”, dalam kesempatan ini, Ashin Kheminda juga menjelaskan secara ringkas mengenai 16 pengetahuan vipassanā (vipassanāñāṇa) mulai dari pengetahuan tentang batasan batin dan materi (nāmarūpaparicchedañāna) sampai ke tahapan kesebelas yaitu saṅkharupekkhāñāna (pengetahuan tentang keseimbangan batin terhadap nāmarūpa). Dengan pencapaian saṅkharupekkhāñāna, seorang yogī dapat disebut sebagai seorang cūla sotāpanna (pemasuk arus kecil). Setelah kehidupan kali ini berakhir, ia akan terlahir kembali sebagai manusia dan terbebas dari empat alam menyedihkan selama satu kehidupan.

Setelah mengamati dengan mata kebijaksanaannya, seorang murid suci yang memiliki pengetahuan menjadi jijik terhadap lima agregat. Ketika dia jijik, maka muncul keadaan tanpa nafsu. Dari tanpa nafsu, ia terbebas. Kata “terbebas” di sini berkaitan dengan kemunculan pengetahuan tentang Jalan (maggañāṇa) tertinggi yaitu Jalan Arahatta. Dengan demikian tidak ada lagi yang perlu dilakukan, tidak akan ada lagi kelahiran kembali di alam mana pun. Dengan berakhirnya pembabaran Sutta ini, lima pertapa tersebut mencapai tingkat kesucian Arahat. (Penjelasan lengkap tentang Sutta ini dapat Anda saksikan di Channel Youtube Dhammavihari)

Tentulah pencapaian ini adalah tujuan akhir dari kita semua sebagai murid Buddha. Hendaknya kita merenungkan betapa berharganya kehidupan kita sebagai manusia, dan kesempatan untuk mempelajari Tipiṭaka beserta kitab-kitab komentar sangat sulit didapatkan. Dengan demikian demi meningkatkan karir di dalam saṃsāra teruslah belajar dan berlatih sehingga dapat secepatnya merealisasi Magga, Phala dan Nibbāna.

Sādhu.. sādhu..sādhu..

Posting Serupa