Habis Gelap Terbitlah Terang
Throught Darkness to Light
Pendahuluan
'...Hai si Jahat, Aku tidak akan memasuki parinibbāna sampai Aku mempunyai murid bhikkhuṇī-bhikkhuṇī yang pandai, terlatih-terpelajar, berperilaku baik, berpengetahuan-luas, menguasai Dhamma, terlatih sesuai dengan Dhamma, terlatih dengan benar dan berjalan diatas jalan Dhamma, yang akan menyampaikan apa yang telah didapat dari gurunya, mengajarkannya, menyebarkannya, menegakkannya, menganalisanya, membedahnya, menerangkannya secara gamblang hingga mereka mampu menggunakan Dhamma untuk membantah ajaran-ajaran semu yang telah muncul dan mengajarkan Dhamma yang penuh mukjizat'1
Kalimat diatas adalah jawaban Buddha terhadap desakan Pāpima (Māra) yang meminta Buddha untuk segera memasuki parinibbāna. Māra mengingatkan Buddha akan janjinya mengingat catuparisā (komunitas bhikkhu, bhikkhuṇī, upāsaka dan upāsikā) telah mempunyai kualitas yang diharapkan oleh Buddha seperti tersebut diatas. Terhadap permintaan tersebut, Buddha meminta Pāpima untuk tidak khawatir dengan memastikan bahwa Beliau akan memasuki parinibbāna tiga bulan sejak hari itu. Narasi ini terekam di dalam Mahāparinibbāna Sutta, salah satu sutta yang paling dramatis dari keseluruhan Sutta Piṭaka.
Paragraf tersebut saya cantumkan disini sebagai pengingat untuk para kandidat yang akan ditahbiskan menjadi bhikkhuṇī di Wisma Kusalayani, Maribaya, Lembang, Bandung pada tanggal 21 Juni 2015. Di dalam kalimat tersebut terkandung semua harapan Buddha akan kualitas yang harus dimiliki oleh seorang bhikkhuṇī. Ditahbiskan menjadi bhikkhuṇī bukanlah akhir melainkan awal dari perjalanan spiritual dimana banyak tugas menanti guna mewujudkan kualitas-kualitas tersebut diatas.
Di dalam keadaan normal pun tidaklah mudah untuk mewujudkan harapan Buddha tersebut, apalagi di dalam keadaan yang tidak normal dimana eksistensi bhikkhuṇī masih merupakan bahan perdebatan yang bisa jadi akan mengganggu pikiran dan perjalanan spiritual mereka.
Artikel ini dimaksudkan untuk memberikan beberapa pandangan positif yang berkaitan dengan posisi bhikkhuṇī dengan segala pertentangannya supaya mereka semakin teguh untuk melangkah di Jalan ini. Pembahasan yang detil, menyeluruh dengan referensi tekstual yang lengkap tidak akan dilakukan disini mengingat hal tersebut bukan menjadi wilayah dari artikel ini yang hanya bersifat sebagai pemberi semangat kepada para bhikkhuṇī. Disisi lain, artikel ini juga diharapkan bisa menginspirasi para umat — upāsaka dan upāsikā — untuk tidak lagi ragu dalam mendukung keberadaan saṅgha bhikkhuṇī karena mereka sesungguhnya juga bisa menjadi ladang kebajikan yang tidak tertandingi untuk dunia.
Problem tentang ‘Penahbisan Ganda’
Penahbisan bhikkhuṇī Theravāda masih saja mengundang kontroversi. Sedemikian hebatnya kontroversi ini sehingga mengakibatkan saṅgha Theravāda seolah terbelah menjadi dua, satu kelompok saṅgha menolak penahbisan ini sementara kelompok saṅgha yang lain mengijinkan serta mendukung dengan membantu menyediakan landasan hukum yang sah dari Tipiṭaka. Terbelahnya kedua kelompok ini terlihat dengan jelas dari kenyataan adanya pengucilan satu kelompok oleh kelompok yang lain; satu kelompok seolah telah kehilangan mettā dan tidak mau menerima kehadiran kelompok yang lain. Tentu saja keadaan seperti ini sangatlah memprihatinkan karena keharmonisan telah dikalahkan oleh kemelekatan terhadap pandangan.
Kontroversi ini bersumber pada satu isu sentral yaitu anggapan bahwa bhikkhuṇī sāsana telah punah sejak abad ke-11. Dikatakan telah punah karena ‘landasan hukum’ untuk menghidupkannya kembali sudah tidak ada lagi. Mereka yang menolak kebangkitan kembali bhikkhuṇī sāsana berpegang pada ketetapan Buddha sbb:
“Para bhikkhu, Aku ijinkan untuk menahbiskan di dalam saṅgha bhikkhu dia yang telah ditahbiskan di satu sisi dan dimurnikan di dalam saṅgha bhikkhuṇī.”2
Dengan kata lain, untuk menjadi seorang bhikkhuṇī, seorang kandidat haruslah menempuh dua kali penahbisan, yaitu ditahbiskan oleh saṅgha bhikkhuṇī terlebih dahulu dan kemudian baru ditahbiskan oleh saṅgha bhikkhu. Penahbisan model ini secara teknis dikenal sebagai ‘penahbisanganda’ (ubhatoupasampannā).3 Dan dikarenakan saṅgha bhikkhuṇī telah punah, maka ‘penahbisan ganda’ sudah tidak mungkin dilakukan lagi. Inilah logika yang dianut oleh mereka yang tidak menyetujui kebangkitan kembali bhikkhuṇī sāsana.
Tetapi apakah benar bahwa kesempatan kaum perempuan untuk menjadi bhikkhuṇī telah tertutup? ‘Habis gelap terbitlah terang’ adalah ‘mantra sakti’ yang diajarkan oleh RA. Kartini, pejuang kaum perempuan yang dengan sangat elegan menuntut emansipasi perempuan. Kegelapan memang telah menyelimuti bhikkhuṇī sāsana sejak abad ke-11, tetapi di jaman moderen ini ‘cahaya terang’ telah mulai menyinari kebangkitan kembali bhikkhuṇī sāsana.
Pada tahun 1998, silsilah penahbisan bhikkhuṇī Theravāda dihidupkan kembali melalui upacara penahbisan di Bodhgaya, India yang dihadiri oleh saṅgha dari berbagai tradisi. Setelah mereka ditahbiskan oleh saṅgha bhikkhuṇī Mahāyāna, dengan tanpa mengambil sumpah Bodhisattva, para kandidat kemudian ditahbiskan oleh saṅgha bhikkhu Theravāda. Setelah penahbisan tersebut, para bhikkhuṇī baru yang berasal dari Sri Lanka, atas inisiatif Bhante Inamaluwe Sumangala Thera, menerima penahbisan ulang di depan saṅgha bhikkhu di Vihāra Rangiri Dambulu, Sri Lanka. Penahbisan ini berdampak sangat positif terhadap penerimaan keberadaan bhikkhuṇī oleh umat di Sri Lanka. Singkat kata, sejak tahun 1998 roda bhikkhuṇī sāsana kembali berputar di bumi. Saat ini kita telah melihat semakin banyak perempuan yang menjadi bhikkhuṇī Theravāda dan gerakan untuk menerima keberadaan mereka sudah semakin meluas ke berbagai belahan dunia. Eksistensi mereka pun sudah mulai diterima oleh para upāsaka dan upāsikā di beberapa negara seperti Sri Lanka, Indonesia dan Australia.
Akan tetapi, saṅgha Theravāda yang ortodoks sampai saat ini masih belum bisa menerima keabsahan penahbisan tersebut dengan alasan utama yaitu saṅgha bhikkhuṇī Mahāyāna yang melakukan penahbisan di Bodhgaya dianggap bukan sebagai bagian dari silsilah Theravāda yang sudah terjaga kemurniannya, tanpa-putus sejak jaman Buddha. Mereka berasal dari silsilah Vinaya Dharmaguptaka yang berbeda dari Vinaya Pāḷi. Tentu saja pendapat mereka adalah satu hal yang sangat bisa dimaklumi dan harus dihormati.
Di sisi lain, mereka yang mendukung penahbisan di Bodhgaya menganggap bahwa saṅgha bhikkhuṇī Mahāyāna yang melakukan penahbisan juga berasal dari silsilah Theravāda. Faktanya, pada abad kelima, bhikkhuṇī Theravāda dari Sri Lanka menanamkan benih silsilah penahbisan di China4 yang kemudian diikuti dengan penerjemahan Vinaya Pāḷi, walaupun kemudian lenyap dikarenakan ketidak-stabilan situasi politik di negeri itu. Di dalam perkembangannya, atas perintah Raja, akhirnya saṅgha disana mengikuti Vinaya Dharmaguptaka.5 Vinaya Dharmaguptaka ini dianggap oleh mereka yang mendukung kelahiran kembali bhikkhuṇī Theravāda berasal dari silsilah Vinaya Pāḷi yang merupakan Vinaya Theravāda.
Kedua pendapat tersebut diatas masih sulit untuk dipertemukan karena ketidaksiapan salah satu pihak untuk menerima pendapat pihak yang lain. Sesungguhnya ada satu titik-terang yang bisa kita gunakan untuk mempertemukan kedua belah pihak yaitu dengan memberikan penafsiran Vinaya yang mengatur penahbisan bhikkhuṇī secara lebih akurat. Salah satu yang memerlukan penafsiran seperti itu adalah apa yang disebutkan di dalam Cūlavagga Vinaya Pāḷi:
“Para bhikkhu, Aku ijinkan para bhikkhuṇī untuk ditahbiskan oleh para bhikkhu.6
Kalimat tersebut diucapkan oleh Buddha sebagai ijin yang diberikan kepada saṅgha bhikkhu untuk menahbiskan bhikkhuṇī. Model penahbisan ini secara teknis dikenal sebagai ‘penahbisan tunggal’ (ekatoupasampannā).7
Dengan demikian, disini, kita telah mengenal dua model penahbisan bhikkhuṇī, yaitu ‘penahbisan-ganda’ dan ‘penahbisan-tunggal.’ Untuk memahami keduanya, ada baiknya kita menampilkan kronologi kemunculan keduanya.
Mahāpajāpatī Gotamī adalah bhikkhuṇī pertama di Buddha sāsana saat ini. Beliau menjadi bhikkhuṇī hanya dengan syarat menerima ‘delapan peraturan yang harus dihormati’ (aṭṭhagarudhammā).
“Ānanda, apabila Mahāpajāpatī Gotamī menerima delapan peraturan yang harus dihormati, itu menjadi penahbisan buat dia.8
Setelah menjadi bhikkhuṇī, Gotamī bertanya kepada Buddha, “Bhante, metode apa yang harus saya ikuti berkaitan dengan para perempuan Sakya ini?9 Pertanyaan ini harus diajukan oleh Gotamī mengingat pada waktu itu belum terbentuk saṅgha bhikkhuṇī, dengan demikian aṭṭhagarudhammā (khususnya poin yang keenam) belum bisa diterima dan dipenuhi oleh para kandidat. Kemudian Buddha menghibur dan memberi semangat kepada Gotamī dengan memberikan ceramah Dhamma yang diakhiri dengan kalimat, “Para bhikkhu, Aku ijinkan penahbisan para bhikkhuṇī oleh para bhikkhu.” Dengan ijin ini maka saṅgha bhikkhu kemudian menahbiskan 500 perempuan Sakya yang telah senantiasa mengikuti Gotamī.
Belakangan, para kandidat bhikkhuṇī merasa malu ketika, sebagai syarat untuk menjadi bhikkhuṇī, harus menjawab pertanyaan para bhikkhu tentang hal-hal yang sangat sensitif buat para perempuan. Mengetahui hal ini, Buddha kemudian membuat peraturan ‘penahbisan-ganda’ demi menghindari rasa malu tersebut dengan meminta saṅgha bhikkhuṇī mengambil alih tugas mengajukan pertanyaan-pertanyaan sensitif tersebut. Demikianlah, secara singkat, kronologi kemunculan model ‘penahbisan-tunggal’ dan ‘penahbisan-ganda.’
Vinaya Pāḷi tidak pernah secara eksplisit melarang ataupun membatalkan model ‘penahbisan-tunggal.’ Kewajiban untuk menempuh jalur ‘penahbisan-ganda’ hanya ditemukan di kitab-kitab komentar. Tetapi di dalam kitab komentar pula kita menemukan kalimat 'ācariyavādato hi suttānulomaṃ balavataraṃ'10 — suttānuloma (empat mahāpadesā) lebih kuat daripada ajaran para guru (kitab komentar). Dengan kata lain, apabila terdapat perbedaan dengan kitab komentar maka kitab Pāḷi harus dijadikan rujukan yang utama.
Dengan demikian, masalah yang ada kaitannya dengan dua model penahbisan hanyalah masalah penafsiran saja. Mereka yang menolak kebangkitan kembali bhikkhuṇī sāsana berpegangan teguh pada keyakinan bahwa pada saat Buddha memperkenalkan model ‘penahbisan-ganda’ maka secara otomatis model ‘penahbisan-tunggal’ dihapus tanpa harus menyatakannya secara eksplisit. Pendapat ini didukung oleh fakta bahwa ‘penahbisan-tunggal’ hanya diberikan kepada 500 perempuan Sakya (pañcasatā sākiyāniya)11 dan tidak untuk para kandidat yang muncul setelah itu. Sebaliknya, mereka yang mendukung kebangkitan bhikkhuṇī sāsana bisa saja mengedepankan argumen bahwa ‘penahbisan-tunggal’ tidak pernah secara eksplisit dihapus karena mungkin Buddha telah melihat jauh ke depan bahwa peraturan ini akan dibutuhkan oleh para muridnya pada saat saṅgha bhikkhuṇī telah punah.
Pada saat kitab Pāḷi memberikan ruang kepada dua interpretasi yang berbeda maka kita harus memilih interpretasi yang dilandasi oleh cinta-kasih, belas-kasih dan kebijaksanaan.12 Dan dengan semangat inilah Mingun Jetavan Sayādaw dari Burma menginterpretasikan ‘penahbisan-tunggal.’ Beliau adalah seorang bhikkhu yang sangat terpelajar, dihormati dan juga seorang guru meditasi yang terkenal. Di dalam tulisannya yang terdapat di Milindapañha Aṭṭhakathā terbitan Haṃsāvatī Piṭaka Press, Rangoon, tahun Myanmar 1311 (=1949) hal 228-238, beliau menyampaikan hal berikut:
“Demikianlah pernyataan dari sang Bhagavā: “Para bhikkhu, Aku ijinkan penahbisan para bhikkhuṇī oleh para bhikkhu” berkaitan dengan batasan pada satu periode di masa lalu ketika saṅgha bhikkhuṇī tidak ada; di masa depan pula, hal ini dibatasi (penulis: berlaku) pada satu periode ketika saṅgha bhikkhuṇī tidak akan ada; dan di masa sekarang hal ini dibatasi (penulis: berlaku) pada satu periode ketika saṅgha bhikkhuṇī tidak ada. Hal ini dikarenakan sang Bhagavā telah melihat (situasi-situasi tersebut) dengan pengetahuan-dan-pandanganNya yang tidak terhalang yaitu dengan Kebijaksanaan Kemaha-tahuannya maka pernyataan beliau haruslah diijinkan….Oleh karena itu, pada masa ini, atau bahkan saat ini juga,…kaum perempuan diperbolehkan untuk ditahbiskan oleh saṅgha bhikkhu.13
Pendapat beliau tersebut tentunya sangatlah melegakan mereka yang condong kepada kebangkitan kembali bhikkhuṇī sāsana. Paragraf diatas adalah ‘cahaya-kebijaksanaan’ Sayādaw yang menghalau kegelapan yang telah lama menyelimuti kehidupan bhikkhuṇī sāsana. Penjelasan Sayādaw ini juga bisa dipakai untuk mematahkan argumen mereka yang mengajukan fakta tentang tidak adanya contoh ‘penahbisan-tunggal’ selain yang diberikan kepada 500 perempuan Sakya. Tidak adanya contoh tersebut terjadi karena ‘penahbisan-tunggal’ hanya akan dioperasikan dalam keadaan ‘darurat’ yaitu pada saat saṅgha bhikkhuṇī tidak ditemukan keberadaannya. Dengan penahbisan 500 perempuan Sakya maka saṅgha bhikkhuṇī telah muncul, oleh karena itulah maka model ‘penahbisan-tunggal’ tidak diperlukan dan disimpan untuk suatu saat digunakan lagi apabila keadaan ‘darurat’ datang.
Penafsiran yang dilandasi oleh cinta-kasih, belas-kasih dan kebijaksanaan juga sejalan dengan kecenderungan perkembangan dunia yang semakin menjunjung tinggi kesetaraan gender. Dalam konteks yang sama, yaitu mempertimbangkan perubahan jaman, kita bisa merasakan ‘semangat’ Buddha pada saat mengatakan, “ nanda, setelah saya mangkat, apabila saṅgha menghendaki, silakan menghilangkan peraturan-peraturan yang kecil dan lebih-kecil.14
Sulit untuk membayangkan bagaimana Buddhisme bisa bertahan untuk, katakanlah, satu juta tahun ke depan apabila tidak mengijinkan kaum perempuan (yang menurut data saat ini adalah 49,6% dari populasi manusia di muka bumi ini) untuk menjadi bhikkhuṇī. Kewelas-asihan kita seharusnya bergetar dan tergerak untuk memberi kesempatan kepada mereka guna menempuh kehidupan-suci (brahmacariya) dengan berlatih secara maksimal sebagai seorang bhikkhuṇī.
Kehidupan ini dibangun diatas salah satu pilar yang disebut ‘history’ (sejarah) yang sering dipelesetkan menjadi ‘his-story’ (cerita kaum laki-laki). Apa yang akan terjadi apabila di masa depan dunia ini dibangun di atas pilar ‘herstory’ (cerita kaum perempuan) dan bukan lagi oleh ‘history’? Sangat menarik untuk mengetahui bagaimana reaksi kaum laki-laki seandainya nantinya ditemukan kalimat seperti ini ‘seorang bhikkhu yang telah ditahbiskan selama seratus tahun harus menyapa dengan penuh hormat,…beranjali dan bersujud (abhivādana) kepada seorang bhikkhuṇī yang baru ditahbiskan pada hari itu.’
Kembali lagi ke penahbisan para bhikkhuṇī di Bodhgaya, apabila penahbisan di depan saṅgha bhikkhuṇī Mahāyāna dianggap tidak sah dikarenakan mereka bukan berasal dari silsilah Theravāda maka penahbisan mereka di depan saṅgha bhikkhu telah secara otomatis memenuhi syarat sebagai ‘penahbisan-tunggal.’ Dengan demikian para bhikkhuṇī yang ditahbiskan pada saat itu adalah bhikkhuṇī Theravāda yang sah.
Tentang Aṭṭhagarudhammā
Di atas sudah disampaikan bahwa aṭṭhagarudhammā adalah model khusus untuk penahbisan Mahāpajāpatī Gotamī. Aṭṭhagarudhammā yang keenam menyatakan:
“Seorang kandidat (sikkhamānā) yang sudah berlatih enam peraturan selama dua tahun hendaknya mencari penahbisan di dalam dua saṅgha.15
Seringkali peraturan ini dijadikan argumen untuk membatalkan penahbisan bhikkhuṇī di Bodhgaya karena para kandidat dianggap belum menjalankan kewajiban yang diatur disini. Pada saat Gotamī menerima aṭṭhagarudhammā sebagai syarat penahbisannya, ia sendiri pun juga tidak pernah menempuh jenjang menjadi seorang sikkhamānā selama dua tahun. Hal yang sama juga dialami oleh 500 perempuan Sakya yang mendampingi Gotamī pada waktu itu. Keadaan ini persis sama dengan apa yang terjadi pada penahbisan di Bodhgaya pada tahun 1998. Pada saat itu saṅgha bhikkhuṇī (dengan mengesampingkan saṅgha bhikkhuṇī Mahāyāna) tidak ada. Oleh karena itulah dengan mengambil teladan cerita tentang 500 perempuan Sakya maka penahbisan bhikkhuṇī di Bodhgaya sah seandainya pun mereka tidak pernah menempuh jenjang menjadi sikkhamānā selama dua tahun. Walaupun faktanya, para kandidat adalah mereka yang telah dipilih secara hati-hati karena sesungguhnya mereka adalah para dasasīla mātā yang telah berlatih sīla yang juga melingkupi 6 peraturan selama bertahun-tahun.
Lebih jauh lagi, apabila kita mencermati aṭṭhagarudhammā maka kita menemukan padanan dari sebagian besar peraturan tersebut di Pācittiya dari Bhikkhuṇīvibhaṅga. Tidak ada satupun dari aṭṭhagarudhammā yang ada padanannya di peraturan disiplin monastik yang dikategorikan berat seperti Pārājika ataupun Saṅghādisesa. Peraturan yang keenam pun mempunyai kemiripan dengan Pācittiya 63 dari Bhikkhuṇīvibhaṅga, selain keharusan untuk mencari penahbisan di dalam dua saṅgha. Apapun itu, aṭṭhagarudhammā mempunyai karakteristik yang mirip dengan peraturan Pācittiya. Dan peraturan Pācittiya mengajarkan kepada kita bahwa pelanggar pertama (ādikammika) tidak dianggap telah melakukan kesalahan. Dengan demikian aṭṭhagarudhammā bukanlah suatu peraturan yang berat melainkan hanya sebuah nasehat dari Buddha yang sebaiknya dijaga dengan baik, dihormati, dijunjung-tinggi dan dipuja.
Bungkus Vs Isi
Saat ini kita boleh merasa tenang dan gembira karena bhikkhuṇī sāsana sudah berputar dengan sangat kencang. Sudah semakin banyak kaum perempuan yang ingin ditahbiskan menjadi bhikkhuṇī. Eksistensi mereka pun sudah semakin kokoh, hal ini terlihat dari dukungan para upāsaka dan upāsikā kepada saṅgha bhikkhuṇī yang semakin kuat. Semuanya ini menyisakan pertanyaan kepada kita untuk direnungkan: “apakah perjuangan kaum perempuan hanya sebatas ini?”
Pertanyaan reflektif ini sangat penting supaya perjuangan tidak menjadi salah arah. Menjadi aktifis perempuan dengan memperjuangkan eksistensi bhikkhuṇī tidak serta merta membuat kita menjadi manusia yang lebih baik dibandingkan mereka yang tidak memperjuangkannya. Demikian pula halnya dengan menjadi bhikkhuṇī tidak serta merta membuat mereka menjadi lebih baik dari sayālay, dasasīla mātā ataupun mae chee. Kita juga tidak memperjuangkan eksistensi bhikkhuṇī demi untuk menghancurkan eksistensi sayālay dll. Kalau hanya demi menunjukkan cinta-kasih dan sayang kepada mama kita, tidaklah perlu kita mencemooh, memarahi dan berusaha melenyapkan mama-mama orang lain. Cinta-kasih dan sayang kepada mama kita tunjukkan dengan cara merawat, menjaga dan memastikan semuanya berjalan dengan baik demi kebahagiaan dia. Ini adalah perumpamaan tentang bagaimana seharusnya kita mendukung bhikkhuṇī. Kita harus memastikan bahwa para bhikkhuṇī bisa mendapatkan kehidupannya dengan baik dan bahagia. Kita tidak perlu menunjukkan dukungan kita kepada bhikkhuṇī dengan cara mencemooh dan berusaha menghancurkan eksistensi sayālay, dasasīla mātā ataupun mae chee. Keharmonisan harus menjadi satu nilai yang tidak bisa ditawar lagi supaya semua pabbajita (mereka yang sudah meninggalkan rumah dan kehidupan duniawi) bisa hidup berdampingan secara damai.
Memperjuangkan bhikkhuṇī dengan menolak sayālay dll pada hakikatnya hanyalah memperjuangkan sīla. Latihan kita bukan hanya latihan sīla, tetapi masih ada dua latihan lain yang harus dicapai yaitu samādhi dan paññā. Samādhisikkhā dan paññāsikkhā bisa dicapai dengan sīla berapa pun —baik itu dengan sīla sayālay dll maupun dengan sīla bhikkhuṇī. Dengan alasan inilah maka kita harus menghormati pilihan mereka yang tetap ingin menjadi sayālay, dasasīla mātā dan mae chee. Cara berpikir yang benar seperti ini harus kita tegakkan dan senantiasa dijadikan pengingat supaya kita tidak kehilangan arah di dalam Jalan ini.
Kita disini tidak sedang memperjuangkan ‘bungkus’ atau ‘jubah’ melainkan ‘isi,’ yaitu dengan cara membantu menciptakan bhikkhuṇī yang berkualitas. Jubah boleh berwarna apa saja yang penting dia harus ‘berisi’, ‘… pandai, terlatih-terpelajar, berperilaku baik, berpengetahuan-luas, menguasai Dhamma…dst.’ Kita, khususnya saṅgha bhikkhu, harus memberi kesempatan kepada mereka untuk berkembang. Memberdayakan kaum perempuan tidak hanya sebatas memperjuangkan eksistensi bhikkhuṇī, tetapi lebih dari itu bagaimana kita bisa mendorong serta mendukung mereka untuk mendapatkan pendidikan (pariyatti —menguasai Dhamma-dan-Vinaya) yang baik.
Sepeninggal Buddha, Dhamma-dan-Vinaya lah yang menerima tongkat estafet dari Buddha untuk menjadi Guru kita. Dengan memberi kesempatan kepada mereka untuk mempelajari Tipiṭaka maka berarti kita telah mendorong mereka untuk mengenali Guru mereka. Dhamma-dan-Vinaya akan membimbing paṭipatti (latihan) mereka guna menembus Empat Kebenaran Mulia (paṭivedha) dan dengan demikian mengakhiri penderitaan untuk kemudian keluar dari saṃsāra.
Kita harus terus mendukung mereka supaya bisa menjadi murid ‘yang pandai, terlatih-terpelajar, berperilaku baik, berpengetahuan-luas, menguasai Dhamma, terlatih sesuai dengan Dhamma, terlatih dengan benar dan berjalan diatas jalan Dhamma, yang akan menyampaikan apa yang telah didapat dari gurunya, mengajarkannya, menyebarkannya, menegakkannya, menganalisanya, membedahnya, menerangkannya secara gamblang hingga mereka mampu menggunakan Dhamma untuk membantah ajaran-ajaran semu yang telah muncul dan mengajarkan Dhamma yang penuh mukjizat.’
Saat ini sudah ada beberapa bhikkhuṇī Indonesia yang sedang menuntut ilmu di negara Buddhis Theravāda seperti Sri Lanka. Semoga di masa depan makin banyak bhikkhuṇī-bhikkhuṇī kita menempuh jenjang pariyatti dan paṭipatti yang baik dan benar. Demikianlah, perjuangan ini adalah perjuangan tentang ‘isi’, bukan ‘bungkus.’ Sekali lagi saya mengucapkan selamat kepada para bhikkhuṇī baru. ‘Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, jalanilah kehidupan suci untuk mengakhiri penderitaan secara total.16
Penutup
Habis gelap terbitlah terang. Dengan diadakannya penahbisan bhikkhuṇī di Wisma Kusalayani, Maribaya, Lembang, Bandung maka bhikkhuṇī sāsana, khususnya di Indonesia telah berputar semakin kencang. Kegelapan di masa lalu telah sirna. Kepada para bhikkhuṇī yang baru saja ditahbiskan, ingatlah terus dengan tujuan awal kalian untuk menjadi bhikkhuṇī. Kalian tidak menjadi bhikkhuṇī demi jubah, derma-makanan, tempat-tinggal ataupun demi keuntungan status sosial.
Kalimat Buddha yang terekam di Mahāsāropama Sutta semoga bisa menjadi sumber inspirasi dan sekaligus menjadi penutup artikel ini:
“Para bhikkhu, manfaat kehidupan-suci (brahmacariya) bukanlah untuk mendapatkan keuntungan, penghormatan serta ketenaran (lābhasakkārasilokānisaṃsa),…. Para bhikkhu, tujuan dari kehidupan suci adalah pembebasan-batin yang tidak-tergoyahkan (akuppā cetovimutti)… Inilah intisarinya. Inilah tujuannya.”17
Kepada Persaudaraan Bhikkhuṇī Theravāda Indonesia, saya mengucapkan selamat dan apresiasi setinggi-tingginya atas inisiatifnya untuk mengadakan Upasampadā Bhikkhuṇī 2015 yang merupakan upasampadā bhikkhuṇī yang pertama di Indonesia semenjak Buddhism ‘tertidur’ di bumi Nusantara selama lebih dari 1000 tahun. ‘Bangunlah’ para bhikkhuṇī, matahari sudah terbit di ufuk timur. Kegelapan telah sirna dan songsonglah masa depan yang gilang-gemilang.
Semoga Buddha sāsana bertahan lama di muka bumi.
Jakarta, 12 Mei 2015,
Sammāsambuddhamatulaṃ sasaddhammagaṇuttamaṃ abhivādemi,
(Saya bersujud dengan penuh hormat kepada Yang Tercerahkan Sempurna, Yang Tidak Tertandingi, bersama dengan Dhamma-yang-Luhur dan Saṅghayang-Mulia)
Ashin Kheminda
Note:
1 D 2:112
2 V 2:272: “anujānāmi, bhikkhave, ekatoupasampannāya bhikkhunisaṅghe visuddhāya bhikkhusaṅghe upasampādetun”ti.
3 ThīA 297
4 Taishō L939c
5 Taishō L793c
6 V 2:258: “anujānāmi, bhikkhave, bhikkhūhi bhikkhuniyo upasampādetun”ti.
7 ThīA 297
8 V 2:255: sace, ānanda, mahāpajāpatī gotamī aṭṭha garudhamme paṭiggaṇhāti, sāvassā hotu upasampadā.
9 V 2:257: kathāhaṃ, bhante, imāsu sākiyānīsu paṭipajjāmī”ti?
10 VA 2:231
11 ThīA 297
12 Dalam konteks ini kita juga seharusnya telah merujuk kepada Mahāpadesa di V1:250 dan D16
13 Bodhi, Bhikkhu 2009 The Revival of Bhikkhuṇī Ordination in the Theravāda Tradition, Inward
Path Publisher.
14 D 2:154. Walaupun kemudian Mahākassapa Thera di konsili pertama akhirnya memutuskan untuk tidak menghilangkannya. Dan keputusan tersebut sangat dihormati oleh bhikkhu saṅgha.
Untuk detil lebih lanjut, silakan lihat DA 2:593
15 V 2:255: “dve vassāni chasu dhammesu sikkhitasikkhāya sikkhamānāya ubhatosaṅghe upasampadā pariyesitabbā.”
16 V 1:18: “svākkhāto dhammo, cara brahmacariyaṃ sammā dukkhassa antakiriyāyā”ti”. Kalimat ini merupakan nasehat Buddha yang diberikan kepada Yasa dihari penahbisannya.
17 M 1:197