Saatnya Memaknai Waisak Sesuai Dhamma;
Saat untuk Bergandengan Tangan Menunjukkan Bakti dan Harmonisasi
“Para bhikkhu, sebelum pencerahanku, ketika aku hanya seorang Bodhisatta yang belum tercerahkan, realisasi datang kepadaku: Ah, dunia ini telah jatuh kedalam kesulitan! Terlahir, lapuk dan mati. Dunia runtuh dan muncul kembali, tetapi ia tidak mengerti jalan keluar dari dukkha, dari kelapukan-dan-kematian…Seperti halnya seorang laki-laki, berjalan menyusuri sebuah jalan di hutan belantara melihat jalan-kuno, jalur yang ditempuh oleh manusia-manusia di masa lalu…demikian pula aku melihat sebuah jalan-kuno, sebuah jalur yang ditempuh oleh para Sammā Sambuddha di masa lalu….Inilah Jalan Mulia Berunsur Delapan….Inilah jalan-kuno, jalur-kuno yang dilalui oleh para Sammā Sambuddha di masa lalu….Dengan mengikutinya, aku mengerti secara langsung tentang dukkha…sebab dari dukkha,…lenyapnya dukkha…dan jalan menuju lenyapnya dukkha.”
Penggalan kalimat yang terekam di Nagara Sutta diatas adalah pernyataan Buddha Gautama tentang ‘Jalan Kuno’ yang beliau lihat di malam purnama bulan Waisak. ‘Jalan Kuno’ yang sebelumnya sempat hilang – karena tertutup tebalnya debu serta asap avijjā (ketidak-tahuan) dan taṇhā (nafsu-keinginan) – tak diketahui oleh para manusia dan dewa selama bermilyar-milyar tahun sejak lenyapnya Dhamma yang diajarkan oleh Buddha Kassapa. Dengan ditemukannya kembali ‘Jalan Kuno’ ini maka arus dunia berubah, pintu ke keadaan tanpa-kematian (Nibbāna) pun kembali terbuka. ‘Jalan Kuno’ inilah hasil dari pencarian beliau yang tanpa mengenal lelah selama menjadi Bodhisatta. Penemuan ‘Jalan Kuno’ ini mengakhiri perjalanan karir Bodhisatta beliau dan membuatnya menjadi seorang Sammā Sambuddha. Dengan demikian wajar saja apabila kemudian secara terus menerus, selama 45 tahun, Buddha tanpa mengenal lelah memperkenalkan kembali ‘Jalan Kuno’, yang tidak lain adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini kepada para manusia dan dewa.
Hari Waisak selalu saja menjadi hari yang ditunggu-tunggu oleh umat Buddha di seluruh dunia untuk dirayakan; semata-mata demi memperteguh tekad untuk terus menjalani kehidupan ini di dalam koridor Jalan Mulia Berunsur Delapan (Jalan) sehingga kita akhirnya bisa merealisasi ajaran unik dari Buddha, yaitu Empat Kebenaran Mulia. Keduanya, Empat Kebenaran Mulia dan ‘Jalan’, bercampur sedemikian rupa dalam satu hubungan yang saling mendukung satu dan yang lainnya. Yang pertama mewakili sisi ‘Ajaran’ (Dhamma) dan yang kedua mewakili sisi ‘latihan/disiplin’ (Vinaya). Hubungan erat keduanya bisa dilihat dari kenyataan bahwa Kebenaran Mulia yang keempat adalah ‘Jalan’ sementara unsur pertama dari ‘Jalan’ yaitu Pandangan-Benar (sammā diṭṭhi) adalah pandangan dan pemahaman yang benar tentang Empat Kebenaran Mulia. Untuk mencapai tujuan akhir latihan spiritual kita–merealisasi Nibbāna–keduanya harus bekerja sama, ‘Ajaran’ harus dipahami dan ‘Latihan’ harus dikembangkan. ‘Latihan’ membawa kita ke jalur-pencerahan, sementara ‘Ajaran’ menerangi jalur tersebut sehingga kita tidak tersesat; tidak keliru meng-interpretasikan pengalaman meditasi kita. Atau dengan kata lain, ‘Ajaran’ akan membuat kita memahami tentang dukkha dan ‘latihan’ akan membawa kita ke akhir dari dukkha; poin inilah yang sebenarnya menjadi misi Buddha dalam mengajarkan Dhamma di alam semesta ini.
“Dari sebelumnya dan sekarang, yang saya babarkan hanyalah dukkha dan dukkha nirodha (lenyapnya penderitaan)”
Dengan memahami hal tersebut diatas, maka sudah sepantasnya kita tidak memaknai dan mengisi perayaan Waisak dengan kegiatan yang penuh gebyar dan hura-hura yang hanya akan mengaburkan ‘Jalan’ dan mengakibatkan kita keluar dari jalur pencerahan. Hal ini dikarenakan batin yang belum tercerahkan akan rentan terhadap lobha (keserakahan), dosa (kebencian) dan moha (khayalan). Ketiganya adalah kekotoran batin yang sangat menyiksa dan membuat batin menderita sejak masa yang sudah tidak bisa diketahui lagi awalnya. Cukuplah sudah dengan semua penderitaan ini.
“Cukuplah sudah untuk menjadi jijik dengan segala formasi, cukuplah sudah untuk menjadi tidak bernafsu terhadapnya, cukuplah sudah untuk menjadi terbebaskan dari mereka.”
Selama seseorang adalah puthujjana maka kelahiran mendatang di alam-tanpa-kebahagiaan (apāya) masih mungkin terjadi. Mereka yang tidak beruntung, terlahir di alam tersebut, harus menjalani penderitaan selama bermilyar-milyar tahun. Akan sangat sulit buat mereka yang bergaya hidup ceroboh untuk bisa terlahir di alam manusia. Buat mahluk seperti ini, empat alam apāya adalah seperti rumah mereka, tempat dimana mereka menghabiskan sebagian besar waktu kehidupannya di dalam saṃsāra. Sungguh tidak beruntung mengalami kelahiran seperti ini. Ketidak-beruntungan yang sama akan dialami oleh mereka yang mendapatkan kesempatan untuk terlahir kembali di alam manusia pada waktu tidak ada Buddha sāsana (ajaran Buddha) di alam semesta ini.
Saat ini, kita semua harus mensyukuri kamma baik kita, karenanya lah kita bisa terlahir sebagai manusia. Dengan kelahiran saat ini, kesempatan untuk mengakhiri dukkha terbuka lebar. Kita semua menginginkan kebahagiaan, baik duniawi ataupun adi-duniawi. ‘Jalan’ untuk mencapainya masih jelas terlihat. Oleh karena itu janganlah ‘Jalan’ ini kita tutupi dengan asap tebal dari dupa yang berasal dari segala bentuk ritual dan upacara yang hanya akan memperkuat lobha, dosa dan moha; serta tidak bermanfaat untuk memahami dan menghancurkan dukkha. Karena sesungguhnya kebahagiaan tidak akan pernah bisa dicapai dengan berdoa (patthanā hetu) dan meminta (āyācana hetu); seperti yang diajarkan oleh Buddha dibawah ini:
“Panjang umur, kecantikan, kebahagiaan, ketenaran dan terlahir di surga. Dari kelimanya, saya tidak mengajarkan bahwa hal tersebut bisa didapatkan dengan cara berdoa dan meminta. Apabila seseorang bisa mendapatkannya melalui berdoa dan meminta, [lalu] siapa yang tidak bisa mendapatkannya?
Mari kita semua bergandengan tangan dengan harmonis sebagai kalyānamittā dan bersama-sama menyusuri ‘Jalan’. Sangatlah penting mempunyai kalyānamitta. Dengan siapa kita berkawan akan sangat mempengaruhi kemajuan atau bahkan kemunduran spiritual kita. Raja Ajātasattu harus terlahir di alam neraka karena salah memilih teman, yaitu Bhante Devadatta. Tentu saja kita tidak ingin mengalami kerugian hanya karena keliru memilih teman spiritual.
Oleh karena itu kita harus memastikan bahwa masing-masing adalah kalyānamitta buat orang lain. Guru Agung kita telah tiada. Tetapi di Mahāparinibbāna Sutta beliau telah ‘menunjuk’ penggantinya, yaitu Dhamma dan Vinaya. Oleh karena itu, jadikanlah Dhamma dan Vinaya, Tipiṭaka, sebagai guru kita. Mari kita pelajari Tipiṭaka dengan baik (pariyatti)–sehingga kita tidak terjebak pada opini yang hanya akan menjerumuskan kita ke alam apāya–dan kemudian melatihnya (paṭipatti) untuk merealisasi Empat Kebenaran Mulia.
Mereka yang hanya mengandalkan “berlatih” tanpa mau “belajar-Tipiṭaka” adalah seperti seekor burung elang yang mempunyai sayap tetapi tidak mempunyai mata. Burung tersebut bisa terbang, tetapi tanpa mata maka selama terbang dia akan menabrak tembok disana-sini; tidak akan pernah mencapai tujuan. Oleh karena itulah, “belajar-Tipiṭaka” menjadi penting, supaya burung tersebut mempunyai mata dan akhirnya diapun tahu harus terbang kearah mana untuk mencapai tujuannya.
Dengan “belajar (pariyatti)” dan “berlatih (paṭipatti)” kita akan bisa keluar dari saṃsāra. Pariyatti akan memberikan cahaya penerang di dalam paṭipatti seperti halnya lampu yang menerangi jalan. Dengan demikian kita bisa berjalan dengan tenang dan selamat sampai ke tujuan akhir, yakni mencapai Nibbāna. Inilah tujuan kita menjadi murid Buddha. ‘Jalan Kuno’ telah dikembangkan; Dhamma telah terlihat. Mereka yang telah melihat Dhamma, telah melihat Buddha. Melihat Buddha dengan cara demikian telah membawa kita kepada makna Waisak yang sebenar-benarnya. Karena kita telah menjadi ‘saksi’ atas kelahiran, penerangan-sempurna dan mahāparinibbāna beliau. Dan yang lebih penting lagi, kita pun akan menjadi ‘pelaku’ yang mengalami dan merealisasi ‘kelahiran’, ‘pencerahan’ dan ‘parinibbāna’ untuk diri kita sendiri. Tentu saja hal ini baru akan terjadi kalau ‘Jalan’ ini tidak kita tutupi dengan asap tebal dari dupa – dari avijjā dan taṇhā – yang sama sekali tidak bermanfaat untuk memahami dan menghancurkan dukkha.
Buddha telah parinibbāna di malam purnama di bulan Waisak; tetapi Dhamma yang beliau ajarkan masih tersedia. Dhamma inilah kasih yang sejati. Karena dengan masih tersedianya Dhamma, maka penderitaan bisa diakhiri. ‘Jalan’ menuju ke kebahagiaan tertinggi–Nibbāna—pun masih jelas terlihat. Diatas ‘Jalan’ inilah kita bergandengan tangan bersama-sama, penuh keharmonisan. Keharmonisan yang tidak semu; karena pikiran, ucapan dan perbuatan telah sama dan menyatu.
Buddhaṃ jīvitaṃ yāva nibbānaṃ saraṇaṃ gacchāmi
Dhammaṃ jīvitaṃ yāva nibbānaṃ saraṇaṃ gacchāmi
Saṅghaṃ jīvitaṃ yāva nibbānaṃ saraṇaṃ gacchāmi
Aku berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Saṅgha selama kehidupan sampai mencapai Nibbāna.
Buddhasāsanaṃ ciraṃ tiṭṭhatu
(Semoga Buddha sasana bertahan lama)
Selamat merayakan Hari Trisuci Waisak 2557 BE.
Jakarta, 27 Mei 2013.
End note:
1 SN 12.65
2 Buddhānaṃ sāmukkaṃsika desana
3 DN 22
4 M I.140
5 SN 15.3
6 Mereka yang belum terbebaskan dari 3 belenggu (kemelekatan terhadap pandangan akan adanya ‘aku’, keragu-raguan serta kemelekatan terhadap upacara dan ritual) atau mereka yang sedang menuju kearah pelepasan ketiganya, mahluk seperti ini disebut sebagai puthujjana. [Pug. 9]
7 Lihat Nakhasikha Sutta, SN 20.2
8 A 5.43
9 S 3.120