Kiṃsīla Sutta 330

26 Aug 2019

No.35/IV/Agt/2019

330) Setelah menghancurkan canda, cakap-angin, ratap tangis, kejengkelan, perilaku yang munafik, licik, keserakahan, kesombongan, ketidaksabaran, sifat kasar, cacat dan kegilaan; seseorang hidup bebas dari keangkuhan dan hati yang teguh.

Seorang bhikkhu yang sedang ber-vipassanā hendaknya hanya semata-mata tersenyum (kecil) terhadap cerita yang mengundang tawa (canda), tidak suka berbicara yang tidak bermanfaat (cakap angin), tidak meratap dan menangis ketika mengalami ketidakberuntungan dan kehilangan sanak saudaranya, tidak memunculkan kejengkelan ketika menghadapi “tunggul, duri” dan rintangan lainnya. Jadi kalau sedang menghadapi kesulitan di dalam latihan-latihan, kita hendaknya mengembangkan kesabaran.

Di sini kemunafikan dijelaskan sebagai “perilaku yang munafik.”
Terdapat tiga jenis munafik, yaitu:

a.Kemunafikan yang berkaitan dengan keserakahan dalam hal penggunaan kebutuhan pokok seorang bhikkhu. Contoh ketika seorang bhikkhu tahu bahwa barang persembahan (catupaccaya) yang akan dia terima merupakan barang yang murah atau jumlahnya sedikit, maka dia berpura-pura menolaknya. Akan tetapi sesungguhnya dia menginginkan barang tersebut dalam jumlah yang lebih besar. Dengan penolakan seperti itu maka diharapkan umat menjadi memiliki simpati kepadanya dengan berpikir, “ Bhante ini sungguh hebat, saya berdana seperti ini saja beliau tidak mau menerimanya. Dia sangat sederhana.” Akhirnya karena muncul rasa saddhā dan sayang kepada bhikkhu tersebut, beberapa hari kemudian, di kesempatan yang berbeda, dia mencoba berdana dengan persembahan catupaccaya yang lebih mewah. Pada saat itu bhikkhu yang serakah itu berpikir, “ini dia yang saya cari.” Ketika persembahan yang diberikan berupa barang mewah atau bagus maka ia pun menerima. Inilah kemunafikan jenis yang pertama.

b. Kemunafikan yang berkaitan dengan postur tubuh, cara berjalan dan lain-lain. Saat seorang bhikkhu sedang berada di tengah keramaian, di tengah-tengah para umat dia kemudian berjalan secara perlahan dengan tujuan untuk menarik simpati sedangkan di dalam hatinya dia berpikir mudah-mudahan mereka mengira bahwa saya baru saja keluar dari jhāna. Ini adalah kemunafikan jenis yang kedua.

c. Kemunafikan yang berkaitan dengan kata-kata yang melingkar. Saat seorang bhikkhu berkata, “Tahu tidak bhikkhu yang tinggal di sana yang memakai mangkuk makanan seperti ini sangat hebat.” Ketika sedang berbicara seperti itu sesungguhnya dia sedang merujuk pada dirinya sendiri, supaya para umat makin mendekat kepadanya dan memberikan dukungan materi yang berlebihan kepadanya. Ini adalah kemunafikan jenis yang ketiga.

Yang dimaksud dengan keserakahan adalah keserakahan dalam hal kebutuhan pokok. Yang dimaksud dengan kesombongan adalah kesombongan dalam hal status sosial dan lain-lain.

Ketidaksabaran adalah istilah untuk “kebahagiaan yang mendidih” (paccanikasātatāsaṅkhāta). Kalau Anda tidak sabar bahkan terhadap hal yang baik pun seperti ketika bertemu dengan guru yang baik, yang menguasai samatha dan vipassanā, apabila pada saat itu ketidaksabaran muncul maka Anda akan kehilangan ketenangan Anda. Hal ini yang diumpamakan seperti kebahagiaan yang mendidih; seperti halnya air yang mendidih maka lama kelamaan akan menjadi uap dan airnya akan berkurang sampai habis dan tidak bisa dimanfaatkan lagi. Demikian juga bila mendapatkan kesempatan bertemu dengan guru yang hebat, apabila Anda tidak sabar maka Anda hanya akan membuat kesempatan berharga ini menguap dan lenyap begitu saja.

Sifat kasar memiliki karakteristik ucapan yang tajam/kasar. Yang dimaksud dengan cacat (kasāva) di sini adalah nafsu ragawi dan lain-lain (rāgādayo kasāvā). Di kitab komentar yang lain, kata cacat batin dijelaskan sebagai cacat lobha, dosa, moha atau juga cacat tubuh, cacat ucapan dan cacat pikiran, yaitu orang yang sering melakukan pelanggaran sīla melalui tubuh, ucapan, sering memikirkan hal-hal yang negatif atau yang tidak baik. Yang terakhir, kegilaan memiliki karakteristik nafsu-keinginan yang berlebihan.

Oleh karena seorang bhikkhu yang masih memiliki segala hal yang merusak dan mengganggu kemajuan batin, yaitu masih suka tenggelam dalam canda, cakap-angin adalah seorang bhikkhu yang kasar (sāhasa); bukan seorang bhikkhu yang cermat dan penuh pertimbangan (avīmaṃsakārī). Dia adalah seorang bhikkhu yang dikuasai oleh nafsu, kebencian dan ceroboh (pamatto). Dia juga adalah seorang bhikkhu yang tidak terus-menerus bermeditasi untuk mengembangkan dhamma-dhamma yang baik (kusalānaṃ dhammānaṃ bhāvanāya asātaccakārī).

Sumber: Ashin Kheminda, Buku Kompilasi Ceramah tentang SUTTANTA, Dhammavihārī Buddhist Studies, Jakarta, 2019. Hlm 127-131.