Kiṃsīla Sutta 331

01 Sep 2019

No.36/I/Sept/2019

331) Apa yang dipahami adalah esensi dari kata-kata yang dikatakan dengan indah, samādhi adalah esensi dari apa yang telah dipelajari dan dipahami. Kebijaksanaan dan pengetahuan kitab suci tidak berkembang untuk dia yang impulsif dan ceroboh.

Orang-orang yang kasar sulit untuk dinasihati, seperti halnya menasihati lalat untuk tidak hinggap di sampah. Sulit bukan? Demikian juga halnya dengan orang-orang yang kasar, yang masih mempertontonkan kilesa-nya, sulit untuk dinasihati semata-mata karena batinnya masih kasar. Oleh karena itu di dalam bait ini dikatakan, “Apa yang dipahami adalah esensi dari kata-kata yang indah,” untuk mengajarkan—dengan individu sebagai pijakan—bahwa kotoran-kotoran batin ini adalah keadaan yang berlawanan dengan perkembangan pengetahuan dari “kitab suci” dan lain-lain.

Kotoran batin seperti chitchat (basa basi), tertawa, melakukan percakapan binatang dan lain sebagainya, berlawanan dengan kemajuan kebijaksanaan kita, karena aktivitas-aktivitas seperti itu hanya menguatkan kilesa.

Kata-kata yang diucapkan dengan indah adalah kata-kata yang berkaitan dengan samatha dan vipassanā, esensinya adalah pemahaman teoretis. Walaupun tujuan kita adalah untuk merealisasi Nibbāna melalui meditasi, tetapi pengetahuan teoretis juga penting, karena pariyatti adalah fondasi untuk paṭipatti. Paṭipatti adalah fondasi untuk mengembangkan kebijaksanaan hingga akhirnya menembus Empat Kebenaran Mulia (paṭivedha). Jadi, fondasi yang paling awal adalah pariyatti atau pengetahuan teoretis.

Di antara Dhamma-Dhamma yang telah dipahami, praktik adalah semata-mata demi untuk samādhi—ketenangan batin; inilah esensinya. Karena sesungguhnya, tidak ada apa pun yang bermanfaat dicapai hanya dengan pemahaman semata. Akan tetapi, orang yang impulsif, dari perilakunya yang dikendalikan oleh nafsu-ragawi dan lain-lain; ceroboh karena tidak terus-menerus melakukan pengembangan dhamma-dhamma yang baik; dia ini adalah orang yang hanya mengambil suara semata. Hanya belajar saja tetapi tidak menghayati apa yang sudah dipelajari, orang-orang seperti ini bisa saja setelah mempunyai banyak pengetahuan Dhamma kemudian digunakan untuk berdebat atau menyombongkan kepandaiannya dan seterusnya.

Mereka yang sadar dan waspada mencapai kedua esensi (appamattānaṃ tadubhayasārādhigamaṃ)—yaitu esensi dari apa yang telah dipelajari (pengetahuan kitab suci) dan esensi dari kebijaksanaan.

Sumber: Ashin Kheminda, Buku Kompilasi Ceramah tentang SUTTANTA, Dhammavihārī Buddhist Studies, Jakarta, 2019. Hlm 131-134