Parābhavasutta 111-112

29 Apr 2019

No.27/I/Mei/2019

111) Demikianlah, kami mengetahui hal ini. Inilah sebab kesepuluh untuk keruntuhan. “Beritahukanlah yang kesebelas, Begawan. Apakah sebab untuk keruntuhan?”

112) “Apabila seseorang menempatkan seorang perempuan yang bejat dan pemboros atau seorang laki-laki yang mirip dengannya; inilah sebab untuk keruntuhan.”

Yang dimaksud dengan seorang perempuan yang bejat di sini adalah seorang yang serakah terhadap ikan, daging dan lain-lain (macchamaṃsādīsu lolaṃ gedhajātikaṃ). Maksud dari pernyataan ini adalah seseorang yang tidak bisa menjaga harta kekayaan atau usaha keluarganya. Apabila menyerahkan harta atau bisnis Anda kepada seseorang yang demikian maka kehancuran hidup hanya tinggal menunggu waktunya saja.

Dalam kehidupan berumah tangga perlu adanya pengelolaan penghasilan dan untuk itu perlu adanya komunikasi dan kesepakatan antara suami dan istri. Anda harus senantiasa mengingat bahwa kehidupan ini tidak pasti. Suatu saat bisa saja ada kejadian yang tidak terduga yang membutuhkan biaya.

Yang dimaksud dengan pemboros adalah perilaku menghancurkan yang menghamburkan uang, seolah-olah seperti debu demi mendapatkan hal tersebut. (tesaṃ atthāya dhanaṃ paṃsukaṃ viya vikiritvā nāsanasīlaṃ); yaitu demi mendapatkan ikan dan daging seperti yang disebutkan di dalam syair.

Bila Anda menyerahkan bisnis atau harta kekayaan kepada seseorang yang suka menghamburkan uang demi mendapatkan kenikmatan-indriawi maka itulah yang menyebabkan keruntuhan dalam kehidupan.

Hal ini tentu tidak hanya berlaku bagi perempuan tetapi juga bagi laki-laki, seperti yang disebutkan di dalam syair atau seorang laki-laki yang mirip dengannya yaitu seorang laki-laki yang seperti itu; dia menempatkannya di dalam kekuasaan (puriso vāpi yo evarūpo hoti taṃ yo issariyasmiṃ ṭhapeti). Bila Anda para istri menyerahkan sepenuhnya usaha atau harta kekayaan kepada laki-laki yang bejat atau pemboros maka Anda juga akan menemui keruntuhan dalam kehidupan.

Sumber: Ashin Kheminda, Buku Kompilasi Ceramah tentang SUTTANTA, Dhammavihārī Buddhist Studies, Jakarta, 2019. Hlm 86-87